Plastisitas Fenotipik dan Perilaku Non Kognitif

Plastisitas fenotipik
Kemampuan merubah wujud pada tanaman

Kebijaksanaan kadang dapat pula diartikan sebagai ketidakpedulian. Bulan Maret ini, sebuah workshop internasional yang diatur oleh Ariel Novoplansky bertemu di kampus gurun di Ben-Gurion University di Negev, Israel, untuk membahas topik asing dalam perilaku tanaman.

Saat perdebatan memanas di ruang pertemuan, gurun di luar dituruni hujan. Lingkungan bisa tak teramalkan dan ini tepat mengapa tanaman seperti halnya hewan disebut sebagai plastisitas fenotipik yang dapat dipandang sebagai sebuah komponen variasi yang terjadi antara individu yang tumbuh dalam beragam lingkungan (Carl Schlichting, University of Connecticut, Storrs, USA).

Walau demikian, tanaman individual merubah fenotipe mereka saat mereka tumbuh dari satu lingkungan mikro ke lainnya dan saat lingkungan lokal berubah.

Perilaku Tanaman

Menjadi hal logis dan konsisten dengan terminologi zoologis untuk menyatakan plastisitas fenotipik demikian dalam sebuah individual sepanjang hidupnya sebagai ‘perilaku’. Meski ketidakpedulian dari sejumlah respon ditemukan pada tanaman kadang mengaburkan istilah ‘perilaku tanaman’.

Dulu tahun 1950 Agnes Arber mengamati kalau respon perilaku tanaman adalah konsekuensi alami dari pertumbuhan dan konstruksi modular mereka karena ini memungkinkan mereka merespon perubahan lingkungan lewat penyetelan tipe dan penempatan organ baru. Penelitian terbaru, khususnya pada tanaman klon, memperbesar ilustrasi point ini.

Michael Hutchings (University of Sussex, Bjustifyon, Inggris) menjelaskan bagaimana percabangan herba klon Glechoma hederacea secara lokal ditentukan dan meningkat mendadak saat sebuah stolon tumbuh dari kondisi tanah yang buruk ke kondisi tanah yang kaya. Ahli ekologi tanaman telah lama memandang ini sebagai perilaku mencari makanan.

Ia juga menunjukkan kalau sebuah varietas respon plastis terjadi pada skala lokal yang memungkinkan klon di lingkungan beragam menghasilkan biomassa lebih banyak daripada yang hidup di lingkungan seragam dengan jumlah pasokan nutrisi yang sama.

Keluasan pertumbuhan meningkat dalam kondisi heterogen tergantung baik pada skala kekasaran sumber daya dan kontras antara daerah buruk dan baik.

Pada G. hederacea, panjang spasi horizontal (potongan stolon antara dua nodus) juga berubah sesuai kondisi lingkungan, namun ini tidak biasa pada tanaman klon. Heidrun Huber (University of Utrecht, Belanda) menunjukkan kalau sebuah pola berulang, saat herba tegak dan klon dalam genus yang sama dibandingkan.

Berlaku juga pada spasi vertikal, seperti petiola daun dari spesies klon atau intermode batang dari spesies tegak yang menjulang saat berada dibawah naungan. Spasi horizontal seperti petiola herba tegak atau intermode stolon herba klon, relatif tidak responsif.

Respon Morfologis

Plastisitas fenotipik dari jenis perilaku tidak hanya terbatas pada respon morfologis, namun juga memuat respon fisiologis, seperti aklimasi pada cahaya (Carlos Ballaré, University of Buenos Aires, Argentina).

Respon ini dapat sangat cepat, namun sebuah stimulus awal dapat juga membawa pada potensiasi jangka panjang, menyebabkan, misalnya, ketahanan kekeringan yang lebih baik pada tanaman yang harus pertama kali mengalami sebuah rentang singkat masa kelangkaan air atau sebuah ameliorasi pada hubungan dosis/respon antara iradiasi UVB dan kerusakan DNA dengan panjang paparan UVB.

Pendapat dalam pertemuan tersebut terbagi pada apakah berguna mengatakan aklimasi fisiologis sebagai sebuah bentuk perilaku, namun pembahasan memperjelas bahwa setiap batasan pada istilah ‘perilaku’ pada respon morfologis saja tidak beralasan.

Philip Grime (NERC Unit of Comparative Plant Ecology, Sheffield, Inggris) berkomentar kalau aklimasi fisiologis pada spesies yang tumbuh perlahan menggantikan perubahan morfologis pada tanaman yang tumbuh cepat karena pulsa nutrisi singkat yang muncul dalam habitat yang dimiskinkan yang tipikal untuk spesies yang tumbuh perlahan memerlukan sebuah respon cepat oleh akar dan tidak dapat diperoleh lewat pertumbuhan organ baru.

Mempengaruhi Pertumbuhan

Setelah menyepakati apa itu perilaku tanaman, kita juga harus jelas dengan apa yang bukan termasuk perilaku tanaman. Perubahan yang cukup drastis pada morfologi sering mengiringi perkembangan tanaman, seperti transisi dari benih ke kecambah, dari gametofit menjadi sporofit pada tanaman paku, dari tahap anak menjadi dewasa pada pohon dan dari semak menjadi bentuk merayap pada beberapa tanaman pendaki.

Namun perubahan ontogenetik ini mewakili pembukaan program perkembangan di mana plastisitas fenotipik pada penentuan waktu perubahan tidaklah wajar (Tsvi Sachs, The Hebrew University, Jerusalem, Israel).

Jadi, penentuan waktu germinasi biji sensitif pada stimuli lingkungan (Yitzchak Gutterman, Ben-Gurion University, Sede Boker, Israel), namun germinasi itu sendiri adalah manifestasi dari perkembangan, bukan perilaku.

Maxine Watson (Indiana University, Bloomington, AS) menjelaskan pertumbuhan klon dari mayapple (Podophyllum peltatum) di mana ‘keputusan’ apakah sebuah node tertentu akan mengembangkan pucuk vegetatif atau pucuk seksual dilakukan antara satu dan dua tahun sebelum pucuk muncul diatas tanah.

Dalam hal ini dan banyak kasus lain praformasi organ, program perkembangan tanaman menjadi kendala cakupan respon perilakunya. Pada mayapple, saklar vegetatif/seksual terutama dikendalikan oleh keadaan sumber daya internal tanaman, namun ini tentu saja memiliki komponen lingkungan. Pembuatan keputusan pada hewan juga melibatkan interaksi antara keadaan internal dan eksternal.

Kemampuan Bertahan Hidup

Ini adalah satu hal untuk menunjukkan kalau sebuah tanaman berperilaku tertentu cukup untuk menunjukkan kalau perilakunya dapat bertahan hidup alias adaptif.

Johanna Schmitt (Brown University, Providence, RI, AS) menunjukkan karyanya (bekerja sama dengan Susan Dudley dan Kathleen Donohue) pada jalur inbred tanaman tahunan Impatiens capensis, yang secara luar biasa menunjukkan kalau respon peninggian tanaman ini untuk menaungi dari vegetasi meningkatkan kelangsungan hidup pada kepadatan tinggi  namun merugikan bila kepadatan tanaman rendah.

Sebuah percobaan transplantasi resiprokal terbaru telah menunjukkan kalau seleksi yang sangat tergantung kepadatan itu lebih kuat pada lokasi terbuka daripada dalam lingkungan hutan kayu.

Ide tersebut mendukung hipotesis kalau perbedaan genetik yang teramati antara jalur dari dua populasi bersifat adaptif. Percobaan ini juga mendukung uji langsung untuk biaya mempertahankan kemampuan meninggi pada lingkungan hutan kayu.

Peter van Tienderen (Netherlands Institute of Ecology, Heteren) menunjukkan percobaan-percobaan seleksi dengan herba rosetta Plantago lanceolata yang disampel dari sebuah populasi kebun dengan daun pendek.

Tanaman dipilih untuk daun panjang dalam naungan yang disimulasi juga memiliki banyak karakteristik lain tanaman yang ditemukan di ladang dimana vegetasinya lebih tinggi daripada di kebun, termasuk biji yang lebih besar dan germinasi dalam naungan.

Lebih jauh lagi, tanaman dari jalur ini menunjukkan peningkatan ketahanan hidup dan reproduksi saat ditransplantasikan pada lingkungan ladang.

Faktor Pencahayaan

Respon meninggi pada I. capensis, P. lanceolata dan tanaman lainnya dipengaruhi oleh rasio cahaya merah dengan infra merah (660nm hingga 730nm) yang berkurang pada kepadatan tinggi karena daun secara selektif menyerap cahaya merah.

Pengaruh ini disensor oleh molekul fotokromik (fitokrom). Lima fitokrom berbeda diketahui, dengan beberapa jenis tugasnya masing-masing dalam respon cahaya tertentu yang mereka kendalikan (Harry Smith, University of Leicester, Inggris).

Famili gen fitokrom telah ber evolusi lewat sebuah proses duplikasi gen yang tampaknya meningkatkan kepuasan respon tanaman pada cahaya dari tanaman dengan sedikit gen PHY dengan yang lebih banyak.

Studi molekuler, genetik dan fungsional sistem ini pada Arabidopsis thaliana sudah sangat maju dan menawarkan sistem model terbaik untuk memahami perilaku tanaman pada level molekuler.

Sebuah filogeni gen ini pada Arabidopsis dan spesies terkait juga akan segera menghasilkan deskripsi filogenetik pertama tentang bagaimana sebagian aspek penting perilaku respon cahaya tanaman dan keberadaan tetangganya ber evolusi (Massimo Pigliucci, University of Tennessee, Knoxville, AS).

Pengaruh Kondisi Alam

Graham Bell (McGill University, Montreal, Kanada) membahas kondisi lingkungan dimana seleksi alam mendukung beberapa generalis plastis secara fenotipik daripada banyak spesialis terdiferensiasi secara genetik.

Pertanyaan ini tidak hanya relevan pada evolusi plastisitas fenotipik, namun juga pada isu dasar perawatan variasi genetik dan keberadaan bersama spesies.

Bell menjelaskan percobaan seleksi pada biakan ganggang ber sel satu Chlamydomonas, yang merupakan heterotrof fakultatif yang mampu hidup dalam gelap bila dipasok dengan substrat dan menunjukkan plastisitas fenotipik antar individual.

Dalam lingkungan yang beragam secara spasial antara kondisi gelap dan terang, biakan Chlamydomonas mengevolusikan keanekaragaman spesialis teradaptasi gelap terang, namun secara berkala meragamkan lingkungan yang bolak balik antara fase gelap dan terang, biakan ini mengevolusikan generalis plastis secara fenotipik. Hasil tersebut sensitif pada periodisitas dan durasi variasi temporal dan pada besarnya variasi spasial dalam lingkungan.

Terdapat batas-batas pada manfaat plastisitas fenotipik yang dapat diberikan dan Thomas Givnish (University of Wisconsin, Madison, AS) memberikan sebuah contoh yang bagus bagaimana batasan demikian dapat menghasilkan sebuah pertukaran dalam manfaat kompetitif dan zonasi spesies dengan beragam bentuk pertumbuhan sepanjang gradien kedalaman air di danau.

Pada air dangkal sekitar danau, spesies muncul di atas dan mengalahkan spesies mengambang dan bawah permukaan, namun saat kedalaman air meningkat, kerugian dari struktur pendukung yang semakin memanjang diperlukan oleh spesies baru dan terus meningkat hingga titik dimana spesies mengambang, seperti lili air, yang daunnya didukung oleh apungan memiliki manfaat kompetitif.

Saat kedalaman air meningkat lebih jauh lagi, petiola yang menyambung daun lili ke akarnya harus semakin panjang pula dan ini terjadi dengan pengorbanan alokasi daun.

Pada batasannya, spesies ini akhirnya digantikan oleh spesies bawah air dengan petiole yang pendek dan tidak terlalu merugikan.

Tiga Jenis Plastisitas Fenotipik

Partisipan pada pertemuan ini menyajikan paling tidak tiga jenis pendekatan pada plastisitas fenotipik tanaman : fisiologis, ekologis dan genetik.

Pertemuan ini penting karena membawa keanekaragaman pendekatan demikian bersatu dalam satu naungan, namun tampak kalau ini belum lagi menjadi identitas komunitas antar pekerja dalam bidang ini.

Seya membawa kesan kalau di masa depan kita perlu memecahkan paling tidak dua masalah integrasi.

Bagaimana tanaman secara fisiologis mengintegrasi perilaku yang ditentukan secara lokal dari bagian mereka membentuk strategi perilaku untuk organisme ini? Dan bagaimana kita menciptakan disiplin terintegrasi untuk mempelajari subjek ini?

Mungkin jawaban pada pertanyaan kedua memberi solusi pada pertanyaan pertama, dan pertemuan ini menjadi langkah pertama menuju penciptaan disiplin ilmu baru.

Definisi

Aklimasi: Perubahan fisiologis dapat balik yang membantu mempertahankan fungsi dari organisme dalam kondisi lingkungan yang berubah.

Perilaku: Plastisitas fenotipik yang di ekspresikan dalam waktu hidup individual.

Perubahan ontogenetik: Kemajuan dari satu tahap perkembangan ke tahap selanjutnya dimana tahapan ini tetap dan tidak memiliki fenotipe alternatif.

Plastisitas fenotipik: Respon organisme pada stimulus lingkungan.

Potensiasi: Efek stimulus awal dalam memunculkan respon yang lebih kuat pada saat stimulus yang sama kembali muncul.