Hati-Hati Dalam Bertutur Kata, Kita Harus Kritis!

 

Kritis terhadap kata
Pilihlah kata yang sesuai.

Jika daya kritis seseorang terus dilatih tanpa kenal lelah dan bosan, maka orang tersebut dapat membedakan dan memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam kalimat ketika mengemukakan pendapat dan argumen.

Demikian halnya ketika skeptisisme terus dibangun dan dikedepankan seseorang, maka sesungguhnya orang tersebut dapat memilah-milah kata bahkan kalimat apa saja, baik yang akan digunakan maupun tidak akan digunakan.

Perhatikan Penggunaan Kata


Sebagai contoh, lema “percaya” dan “iman”. Orang harus berhati-hati terhadap penggunaan kedua lema tersebut, terlebih jika dua lema itu digunakan dalam konteks sains, misalnya: ilmu-ilmu sosial, biologi, dan fisika.

Seharusnya orang sebisa mungkin menghindari penggunaan kata “percaya” dalam konteks sains karena sains sendiri berbicara hal-hal, seperti: observasi, penelitian, logika, dan eksperiman yang dilakukan tiada henti.

Dalam sains ketika semua hal yang telah disebut di atas (observasi, penelitian, logika, dan eksperimen) dilakukan yang kemudian diperoleh hasil yang valid dengan didukung oleh berbagai bukti relevan barulah seseorang dan/atau masyarakat “menerima” hasil atau kesimpulan yang berasal dari sains.

Dengan demikian, kata yang tepat digunakan dalam konteks sains seharusnya adalah “menerima”, dan bukan “percaya” atau “mempercayai”. Jadi, kalimat yang tepat adalah: “Saya menerima hasil penelitian itu sebagai sesuatu yang valid karena telah diuji ketepatannya oleh beberapa orang dengan menggunakan pola yang acak” atau “saya bisa menerima kesimpulan tersebut karena saya sendiri pun telah melakukan penelitian yang sama dan memperoleh hasil yang sejajar dengan kesimpulan tersebut.”

Hindari Kepercayaan


Sedangkan untuk lema “iman” seyogianya orang enggan menggunakannya karena lema itu sendiri berasal dari ranah agama. Mengapa demikian?

Oleh karena ranah agama merupakan ranah yang tidak begitu jelas bahkan tidak jarang samar-samar karena tidak didukung oleh berbagai bukti relevan yang telah diuji keakuratannya, maka berbagai kata dan istilah bisa memiliki pengertian yang lebih dari satu.

Atau, sebuah kata memiliki pengertian yang ambigu. Artinya, sebuah lema atau istilah bisa memiliki pengertian yang berbeda ketika digunakan oleh kelompok orang yang berbeda.

Contoh mengenai hal di atas adalah “alam baka.” Bagi para penganut agama Abrahamik, “alam baka” menunjuk pada surga-neraka, sedangkan bagi para penganut Buddhisme menunjuk pada nirvana, atau menurut para pemeluk Hindu menunjuk pada reinkarnasi.

Sedangkan untuk lema “iman” ditemukan beberapa pengertian yang biasa dikatakan orang, seperti: “iman” = tidak membutuhkan bukti fisik atau “iman” = percaya atau “iman” = tidak bisa dilihat secara kasat mata atau “iman” = pengalaman pribadi/kelompok.

Oleh karena sifatnya yang sangat tidak stabil atau lebih tepatnya, tidak memiliki tolok ukur atau standar yang pasti, seharusnya orang menghindari penggunaan kata “iman” tersebut.

Kesimpulan


Penggunaan kata dan bahasa dalam budaya masa kini merupakan hal yang sangat vital karena menunjukkan atau menggambarkan posisi orang yang menggunakannya.

Penggunaan kata atau kalimat yang tidak cermat akan mengakibatkan pesan tidak diterima secara jernih oleh pihak lain, atau, pihak lain keliru memahami kata-kata atau ungkapan yang disampaikan si penyampai berita.

Ini bisa terjadi karena kata atau ungkapan yang sama ketika diterima oleh beberapa orang bisa menghasilkan pemahaman yang saling berbeda. Oleh karena itu, kritis pun diawali dan dimulai dari hal-hal sangat kecil yang seringkali dianggap remeh oleh banyak orang.

Namun hal yang remeh itu bisa mengakibatkan kesalahpahaman atau jurang komunikasi antara pihak-pihak yang berhubungan. Kritis terhadap penggunaan kata merupakan salah satu langkah paling awal sekaligus sangat sederhana bagi orang-orang yang selalu mau berpikir kritis.